,

FUNGSI DAN MAKNA RUANG : MASYARAKAT BADUY

05 July 2008 Leave a Comment

Manusia membuat atau menata suatu ruang pasti bertujuan untuk fungsi-fungsi tertentu. secara garis besar, fungsi ruang penulis golongkan dalam dua kategori, yaitu fungsi dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan dan fungsi dalam hubungannya dengan pola waktu. Dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan, terdapat ruang yang bersifat pribadi dan sosial, serta ruang yang bersifat sakral dan profan. Yang dimaksud dengan ruang pribadi adalah ruang yang digunakan untuk keperluan sendiri atau keluarga sendiri dan orang lain atau pihak lain tidak diperkenankan mencampurnya. Yang dimaksud ruang sosial adalah ruang yang digunakan untuk kepentingan bersama atau umum. Ruang sakral mengacu pada ruang atau tempat yang bersifat suci, dianggap suci, atau dipergunakan untuk keperluan religi; sedang ruang profan adalah ruang yang “biasa-biasa saja”, yang dipergunakan untuk aktivitas sehari-hari.

Adapun fungsi ruang dalam hubungannya dengan pola waktu terdapat ruang yang digunakan secara tetap atau terus-menerus dari waktu ke waktu dan ruang yang digunakan hanya sementara, secara periodik, atau pada waktu-waktu tertentu saja.


Ruang dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan
Ruang Pribadi

Dalam kaitannya dengan fungsi pribadi, masyarakat Baduy mengenal ruang imah, huma tangtu, imah, dan huma puun. Imah pada dasarnya mengandung pengertian ganda, yakni dapat menunjukkan makna rumah secara keseluruhan, tetapi juga mengacu pada salah satu ruang dalam rumah. Dalam kaitannya dengan makna imah sebagai rumah, tidak ada suatu rumah dalam masyarakat Baduy yang berfungsi sebagai tempat tinggal penghuninya tidak memiliki hubungan keluarga. Dua atau (kalau ada) tiga keluarga dalam satu rumah selalu merupakan keluarga luas atau masih memiliki kata kekerabatan dekat. Mereka berasal dari keluarga yang anaknya telah menikah, atau ada juga keluarga dari adik laki-laki suami atau istri. Jarang sekali dijumpai keluarga yang ikut serumah merupakan adik perempuan suami maupun istri dan kakak dari suami maupun istri. Hal ini disebabkan pihak perempuan biasanya dibawa oleh laki-laki, sedang pihak kakak umumnya lebih dahulu menikah dan memiliki rumah sendiri.
Dalam hal satu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, rumah tersebut memiliki paroke (tempat memasak) sendiri-sendiri. Masing-masing keluarga tidak saling merepotkan atau menggantungkan hidu, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Bila seorang anak telah berkeluarga, segala kebutuhan ditanggung oleh keluarga yang bersangkutan.
Dalam kaitan pengertian imah sebagai salah satu ruang dalam rumah, imah merupakan ruang inti dan unsur pokok sebuah rumah. Ruang imah bersifat sangat pribadi, tidak boleh orang atau keluarga lain menempati ruang ini. Dalam satu rumah hanya ada satu ruang imah. Di ruang imah-lah sebuah keluarga tidur (orang tua dan anak-anaknya yang masih kecil), masak, makan, menyimpan barang berharga, dan bahkan melahirkan. Anak perempuan yang telah memasuki usia remaja dan belum menikah biasanya tidur di ruang tepas, sedang anak laki-laki tidak memiliki ruang tidur tetap, kadang di tepas, sosoro, bale, atau di saung huma. Jika kebetulan ada yang menginap di rumah, anak gadis biasanya diungsikan sementara ke tempat saudaranya. Di Panamping, anak-anak dibuatkan ruang atau kamar sendiri-sendiri.
Bila ada lebih dari satu keluarga dalam rumah, yang menempati ruang imah adalah pemilik atau pendiri rumah. Keluarga lain membuat ruang sendiri di tepas atau di sosoro. Ruang keluarga yang berada di tepas atau di sosoro tidak disebut dengan imah, tetapi sebagai tepas atau sosoro. Walaupun demikian, ruang-ruang keluarga di tepas dan sosoro tersebut juga bersifat pribadi, sama seperti imah. Sepulang dari ladang, keluarga-keluarga ini masak dan makan di ruangan masing-masing. Demikian pula untuk tidur dan aktivitas keluarga lainnya.
Siapa yang berhak menempati ruang imah? Pada dasarnya penempatan ruang imah tergantung pada tiga hal, yaitu kepemilikan, senioritas, dan jabatan. Dari segi kepemilikan berarti yang menempati ruang imah adalah keluarga yang memiliki atau mendirikan rumah. Umum dijumpai bahwa pemilik atau pendiri rumah adalah orang tua, sehingga yang menempat ruang imah adalah orang tua keluarga. Dari segi senioritas berarti saudara yang lebih tua menempati ruang imah. Umum dijumpai bahwa saudara yang lebih tua lebih dahulu berkeluarga dan mampu mendirikan rumah sendiri. Saudara yang lebih muda dan telah berkeluarga yang kebetulan ikut saudara tuanya akan menempati ruang lain di tepas atau di sosoro. Kalau pun terjadi sebaliknya, saudara yang lebih muda menawarkan kepada saudara yang lebih tua untuk menempati ruang imah; namun biasanya saudara tua tahu diri karena bukan rumah miliknya, sehingga adiknya sebagai pemilik rumah yang menempati ruang imah. Dari segi jabatan, keluarga yang memiliki kedudukannya dalam kampung, misalnya sebagai jaro, baresan, girang seurat, dan lain-lain, walaupun lebih muda, berhak menempati ruang imah; bahkan orang tuanya pun yang jika kebetulan ikut dengannya tidak berhak menempati ruang imah. Biasanya, keluarga yang menumpang hanya bersifat sementara sampai mereka mampu dan dapat mendirikan rumah sendiri.
Fungsi ruang yang bersifat pribadi juga terdapat pada huma tangtu. Huma tangtu merupakan ladang milik pribadi masing-masing keluarga Baduy Dalam (untuk Baduy Luar disebut huma panamping). Pengertian milik bukan mengacu pada hak, melainkan atas tanah karena sesungguhnya tanah milik karuhun yang dititipkan kepada puun untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu pengertian milik lebih berarti hak untuk menggarap ladang, yang diusahakan sendiri oleh keluarga bersangkutan, mulai dari mencari lokasi, membuka lahan, mengerjakan lahan, menanam tanaman (padi, umbi-umbian, dan sebagainya), memelihara, sampai memungut hasil, menyimpan, dan memanfaatkan hasilnya. Setiap anggota keluarga baik yang masih kanak-kanak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, ikut berperan serta dalam mengelola ladang.
Bagi orang Baduy, ber-huma ‘berladang’ bukan sekedar bercocok tanam menanam padi dan tanaman lainnya, melainkan ibadah dalam rangka menjalankan pikukuh ‘ketentuan adat mutlak’ dan agama Sunda Wiwitan. Menanam padi pada prinsipnya adalah ngararemokeun ‘menjodohkan” Nyi Sri (lengkapnya Nyi Pohaci Sanghiyang Asri, dewi padi) dengan pasangan abadinya, yaitu bumi).
Cita-cita hidup setiap insan Baduy adalah hidup lebih baik di kahiyangan kelak. Di sana mereka akan menjadi tetangga Nyi Sri. Oleh karena itu, agar menjadi tetangganya kelak, orang Baduy harus memperlakukan padi sebagai perwujudan Nyi Sri dan sebaik-baiknya. Doa-doa dan nyanyian-nyanyian terbaik selalu ditujukan kepada Nyi Sri dalam setiap kegiatan upacara berladang. Untuk mencapai maksud tersebut, setiap keluarga Baduy harus mengusahakan ladang sebaik-baiknya agar mereka sekeluarga juga dapat tetap berkumpul di ‘alam sana’.
Selain itu, secara praktis, huma merupakan sumber kehidupan bagi setiap keluarga Baduy. Orang Baduy tidak diperkenankan menyusahkan atau membebani orang lain; semua keperluan keluarga harus diusahakan sendiri. Itulah pula yang menyebabkan setiap orang Baduy yang telah berkeluarga harus memiliki ladang untuk menghidupi keluarganya sendiri.
Berbeda dengan Baduy tangtu, status tanah huma masyarakat panamping ada yang berupa milik dan bahkan banyak yang disewakan dengan sistem bagi hasil kepada peladang lain, akibatnya muncul orang-orang yang bertindak sebagai nu boga taneuh ‘pemilik ladang’ dan ada yang hanya sebagai nu ngagarap ‘penggarap’ atau buruh tani. Hal ini disebabkan karena terbatas atau berkurangnya lahan ladang., sementara jumlah penduduk kian bertambah.
Fungsi pribadi lain terlihat dalam imah dan huma puun. Sebagai pimpinan adat tertinggi, puun memiliki hak istimewa seabgai warga Baduy, memiliki imah ‘rumah’ dan huma ‘ladang’ sendiri. Meskipun demikian rumah dan ladang tersebut berfungsi pribadi bersifat sementara, karena hanya berlaku selama menjabat sebagai puun. Bila seseorang tidak menjabat puun lagi, haknya diserahkan kepada penggantinya. Ladang puun dapat dianggap mirip dengan tanah bengkok bagi kepala desa Jawa, yang hasilnya dipergunakan untuk keperluan keluarga bersangkutan. Rumah puun bersifat lebih pribadi dibanding rumah warga lainnya, baik rumah pejabat kepuunan maupun rumah warga biasa. Bagi orang luar atau tamu, jangankan memasuki rumah puun, melintas di halaman sekitarnya pun tidak diperkenankan. Di samping itu, puun dan keluarga juga memiliki tempat mandi dan cuci sendiri. Warga lain tidak diperkenankan berada di belakang rumah atau pada bagian atas aliran sungai.
Tiap kampung di panamping tidak memiliki apa yang disebut dengan puun. Sebagai pimpinan tertingginya dijabat oleh kokolot lembur ‘tetua kampung’. Berbeda dengan puun, kokolot lembur tidak mempunyai hak istimewa atas ladang. Kokolot lembur memiliki dan mengusahakan ladangnya seperti warga biasa.
Sangat sulit orang luar atau tamu yang ingin berjumpa langsung dengan puun, kecuali bila ada maksud khusus. Itu pun diterima bukan di rumah puun, melainkan di saung huma ‘pondok di ladang’. Yang dimaksud khusus adalah yang oleh orang Baduy disebut ziarah, yakni sengaja menghadap puun untuk memohon keselamatan, mohon dikabulkan suatu keinginan, mohon ajian, dan mohon isian, benda tertentu. Seseorang yang akan ziarah harus dibekali beberapa syarat, seperti kemenyan, bunga tujuh rupa (jenisnya tidak terlalu dipentingkan, yang ada di sekitar), kain putih, kadang-kadang uang kertas (jumlahnya tidak ditentukan), dan benda yang akan diisi, seperti pisau, keris, dan gunting.
Dalam hubungannya dengan kepentingan adat pun rumah puun tidak pernah digunakan. Kalaupun upacara harus diadakan di rumah, biasanya dilakukan di rumah jaro. Namun umumnya kegiatan upacara adat atau rapat kepuunan diselenggarakan di bale. Puun hanya diundang untuk menghadiri kegiatan tersebut.

Ruang Sosial
Dalam hubungannya dengan fungsi sosial, dikenal adanya ruang tepas dan sosoro, bangunan bale, saung lisung, alun-alun (tanah lapang), pancuran atau pemandian, dan huma serang. Ruang tepas dan sosoro pada suatu rumah dianggap sebagai ruang yang berfungsi sosial karena ruangan ini digunakan untuk menerima tamu, kumpul keluarga dan tetangga, mengerjakan kerajinan, dan meletakkan atau menyimpan peralatan berladang. Ruang tepas dan sosoro juga berfungsi sebagai tempat melakukan kenduri atau selamatan, misalnya selamatan rumah baru, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian.
Bangunan bale dapat pula dianggap berfungsi sosial dalam hubungannya sebagai tempat menerima dan tempat menginap tamu yang datang ke pemukiman Baduy tangtu. Di bangunan ini diselenggarakan juga beberapa kegiatan lain, seperti rapat pejabat kepuunan, dan upacara perkawinan. Di belakang bale terdapat bangunan yang juga berfungsi sosial, yaitu saung lisung. Di sini kaum ibu atau wanita berkumpul menumbuk padi sambil berbincang dan saling bertukar informasi. Tempat berkumpul kaum bapak atau pria, kalau tidak di rumah (ruang tepas atau sosoro) dilakukan di alun-alun atau di golodog bale. Biasanya kumpul-kumpul tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan kegiatan ronda kampung.
Ada yang khas tentang ronda kampung Orang Baduy, selain malam juga dilaksanakan pada siang hari. Hal ini disebabkan pada waktu siang umumnya kampung kosong karena sebagian besar warga pergi ke ladang. ronda dilakukan secara bergilir 4-5 orang tiap hari mulai dari pagi hingga sore hari. Di panamping, terutama dekat daerah perbatasan, ronda tidak dilakukan pada siang hari, tetapi malam hari. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman banyak terjadi pencuri padi di lumbung-lumbung warga pada waktu malam hari.
Di alun-alun biasanya juga menjadi ajang bermain anak-anak, terutama bagi mereka yang sedang tidak pergi membantu orang tuanya di ladang, atau sebelum dan sesudah ke ladang. dalam berbagai kegiatan seperti meminta berkah (khusus di Cikeusik), ngalaksa, dan perkawinan, alun-alun menjadi tempat warga berkumpul mengikuti kegiatan tersebut.
Pancuran atau tempat pemandian juga termasuk dalam ruang yang berfungsi sosial. Tempat pemandian terbagi menjadi dua bagian, yakni untuk wanita dan pria. Pemandian pria biasanya di sungai. Pancuran air biasanya terdapat di sebelah utara kampung, sedangkan sungai biasanya melintas di sebelah barat.
Ruang lain yang mempunyai fungsi sosial adalah huma serang (di panamping disebut huma tuladan). Hasilnya digunakan untuk keperluan bersama, khususnya untuk upacara-upacara adat seperti kawula, muja (khusus Cikeusik), ngalaksa, dan seba (khusus Cibeo). Karena hasilnya untuk kepentingan bersama, maka pengerjaan, pemeliharaan, dan pemungutan hasil pun dilakukan secara bersama-sama dipimpin oleh girang seurat.


Ruang Sakral

Dalam hubungannya dengan fungsi sakral terdapat Sasaka Domas, tangtu, serta leuweung kolot dan leuweung lembur. Sasaka Domas, atau disebut juga dengan Sasaka Pusaka Buana, dianggap sakral karena dalam kosmologi Orang Baduy diyakini sebagai pancer bumi ‘pusat bumi’ atau ‘inti jagat’. Sasaka Domas juga dianggap sebagai tempat diturunkannya manusia pertama yang kemudian menjadi cikal bakal Orang Baduy dan manusia penghuni bumi ini. Sasaka Domas diakui juga sebagai tempat berkumpulnya para karuhun ‘roh nenek moyang/leluhur’. Oleh karenanya, tempat ini dianggap paling suci dan menjadi daerah larangan yang tidak boleh sembarang orang boleh memasukinya. Secara lokasional, Sasaka Domas terletak pada kawasan paling selatan dan paling tinggi dalam wilayah Baduy. Setahun sekali Orang Baduy mengadakan ziarah dan pemujaan ke Sasaka Domas sebagai tanda bukti pada karuhun dan pemurnian inti jagat.
Wilayah tangtu juga dianggap mempunyai fungsi sakral karena tugas orang-orang tangtu yang menjaga dan melestarikan adat Baduy titipan karuhun. Kesakralan daerah ini disebabkan pula keturunan awal atau cikal bakal Orang Baduy dan menjadi panutan warga Baduy yang berada di luar (Panamping dan Dangka). Sebagai wilayah sakral, orang-orangnya pun harus bersih dan suci. Mereka harus bertindak dan berprilaku yang baik-baik sesuai dengan pikukuh ‘ketentuan mutlak’. Mereka yang kotor dan melanggar adat harus dibuang atau ditamping ke luar (ke Panamping atau Dangka).
Leuweung kolot (hutan tua di gunung atau puncak-puncak gunung (dan leuweung lembur (hutan di sekitar pemukiman dan dekat dengan aliran sungai) juga dianggap sebagai tempat yang berfungsi sakral karena tempat-tempat itu merupakan tempat tinggal atau jalan para roh leluhur. Leuweung kolot diyakini sebagai tempat tinggal dan persemayaman roh leluhur yang bertugas menjaga keselamatan dunia Baduy, sedangkan leuweung lembur diyakini sebagai tempat jalan roh leluhur bila ingin menengok atau menjaga keluarga atau keturunannya di kampung-kampung yang bersangkutan. Untuk menghormati dan menyenangkan para roh leluhur dan juga roh-roh lainnya (baik yang jahat maupun yang baik) diadakan upacara seba laksa di leuweung kolot dan leuweung lembur. Upacara ini pada dasarnya mempersembahkan makanan dan tepung beras yang dibentuk menyerupai boneka atau orang-orangan. Karena tempat tersebut dianggap sakral, orang Baduy dilarang merusak atau membukanya, baik untuk ladang maupun kepentingan lain.
Masyarakat Baduy tidak mengenal rumah suci atau melakukan ibadah keagamaan. Satu-satunya tempat suci untuk melakukan upacara keagamaan adalah Sasaka Domas. Bagi mereka, hidup ini adalah ibadah. Bentuk nyata ibadah tercermin dalam berladang dan berbuat baik lainnya. Hasil ladang dan perbuatan menandakan tingginya tingkat ibadah.

Ruang Profan
Ruang yang dihubungkan dengan fungsi profan pada dasarnya adalah ruang-ruang yang di luar ruang sakral, namun adakalanya ruang di luar ruang sakral dapat pula menjadi ruang sakral,. Yang tergolong dalam ruang yang berfungsi profan ini misalnya rumah, bangunan bale, saung lisung, alun-alun, pancuran atau pemandian, dan reuma (lahan ladang di luar leuweung kolot/leuweung lembur).
Ruang profan yang kadang-kadang berfungsi sakral adalah bale dan saung lisung. Bangunan bale berfungsi sakral apabila sedang dilakukan rapat adat dan upacara perkawinan, yang merupakan acara resmi kapuunan dan merupakan upacara adat. Saung lisung berfungsi sakral ketika dilakukan upacara nganyaran, yakni penumbukan pertama padi yang diambil dari hasil huma serang. Kegiatan penumbukan padi itu pun tidak dilakukan sembarang orang, melainkan oleh istri-istri pejabat kepuunan, seperti istri puun, istri girang seurat, istri jaro tangtu, istri barisan, dan istri mantan puun, dengan maksud sebagai penghormatan dan adat kesopanan terhadap Nyi Sri atau Dewi Padi.


Ruang dalam hubungannya dengan pola waktu
Yang dimaksud pola waktu secara garis besar meliputi pola waktu yang bersifat cylic (yang berhubungan dengan masa peredaran, putaran, atau siklus) dan bersifat linier (secara berurutan terus-menerus seperti garis lurus). Dalam hubungannya dengan ruang, setiap ruang atau satuan ruang tertentu dapat dikatakan berfungsi sesuai kriteria waktu tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat ruang yang berfungsi sepanjang waktu, ruang yang berfungsi hanya pada waktu-waktu tertentu, ruang berfungsi tunggal, ruang berfungsi pada ganda atau jamak, ruang berfungsi tetap, dan ruang yang hanya berfungsi sementara waktu.
Ruang yang tetap dan berfungsi sepanjang waktu terdapat pada ruangan kawasan, pemukiman (khususnya tangtu), rumah, saung lisung, pancuran/pemandian, lumbung, huma puun, leuweung kolot, dan leuweung lembur. Ruang-ruang tersebut tidak berubah bentuk dan letaknya, serta setiap saat digunakan atau ada aktivitas di dalamnya.
Ruang yang berfungsi tunggal terdapat pada saung lisung, leuit, huma, dan pancuran/pemandian. Saung lisung hanya digunakan untuk menumbuk padi; leuit hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan padi yang telah kering; huma, baik huma puun, huma serang, maupun huma tangtu, merupakan tempat untuk bercocok tanam, terutama padi; dan pancuran atau pemandian berfungsi sebagai tempat mandi dan cuci.
Adapun kawasan Baduy, pemukiman, dan rumah merupakan ruang yang memiliki fungsi ganda/jamak, karena beraneka ragam kegiatan dilakukan pada ruang ini, bak yang berhubungan dengan sosial, budaya, ekonomi, maupun religi.
Untuk ruang yang tetap dan berfungsi hanya pada waktu-waktu tertentu terdapat pada Sasaka Domas dan bale. Sasaka Domas merupakan ruang sudah pasti dan tidak akan berubah-ubah, terletak di Gunung Pamuntuan di Lereng Pegunungan Kendeng, sebagai tempat suci orang Baduy, dan hanya berfungsi jika ada kegiatan yang dilakukan di tempat tersebut setahun sekali, yakni pada tanggal 17,18 dan 19 bulan Kalima berupa upacara muja. Di luar tanggal itu tidak ada kegiatan pemujaan di Sasaka Domas. Ruang bale berfungsi hanya bila ada tamu atau pengunjung yang datang ke kampung tangtu. Mereka akan diterima dan dapat pula bermalam di sini. Bale juga akan berfungsi bila ada rapat kepuunan atau kegiatan adat seperti upacara perkawinan. Di luar saat-saat itu, bale boleh dikatakan tidak berfungsi.
Untuk ruang yang tidak tetap namun berfungsi hampir sepanjang waktu adalah huma serang dan huma tangtu. Ruang ini tidak tetap sifatnya karena sewaktu-waktu bila tanahnya tidak subur lagi akan berpindah ke tempat lain. Walaupun demikian kegiatan berladang terus berlangsung sepanjang waktu. Untuk ruang yang tidak tetap dan berfungsi pada waktu-waktu tertentu saja terdapat pada saung panjang dan talahap. Keduanya berfungsi tunggal;saung panjang dibuat dan digunakan hanya untuk keperluan upacara inisiasi (gusaran dan sunatan), setelah itu ruang ini dihilangkan; talahap dibuat dan difungsikan sebagai tempat menginap orang yang sedang melakukan upacara muja, setelah kegiatan selesai ruang ini pun ditiadakan lagi.

Makna Ruang
Baduy sebagai inti jagat

Cukup banyak kelompok masyarakat di muka bumi ini yang menyatakan bahwa mereka merupakan cikal-bakal atau tempat asal-usul jagat semesta. Pandangan ini mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Dengan pandangan itu, mereka haruslah dianggap sebagai suatu kelompoki masyarakat yang asli keberadaannya dan pendahulu dari kelompok masyarakat lain. Selain itu tersirat pula pandangan bahwa kekuasaan dan kedaulatan mereka harus diakui.
Pandangan serupa terdapat pula pada masyarakat Baduy. Pengetahuan orang Baduy mengenai jagat raya diperoleh dari pandangan kosmologi mereka. Harus diakui bukanlah hal yang mudah mencari keterangan yang berhubungan dengan kosmologi ini, karena pengetahuan budaya tersebut ditularkan lewat tradisi lisan. Sementara itu, pengetahuan yang diperoleh dan dimiliki seseorang lewat tradisi lisan sangatlah terbatas. Tidak semua orang Baduy mengerti secara utuh mengenai budayanya, terutama hal-hal yang bersifat rahasia dan sakral. Kalau pun mereka memperoleh, mengetahui, dan memahaminya , tidak mudah pula untuk memperoleh keterangan, terutama orang yang belum mereka kenal baik. Mereka biasanya diam atau menjawab dengan teu wasa, maksudnya bahwa dia tiada kuasa untuk menjawabnya, atau menjawab dengan teu meunang, maksudnya bahwa dia tidak boleh atau tidak pantas menjawabnya.
Orang Baduy yang berusia di bawah 40 tahun, umumnya tidak mengetahui secara pasti pengetahuan tentang kosmologi mereka. Ketika mereka ditanya tentang mula terjadinya jagat raya ini, mereka hanya menjawab teu nyaho ‘tidak tahu’ atau gitu bae ‘sudah begitu adanya’ pengetahuan kosmologi mereka adalah:
“.... bumi ini pada mulanya disebut ngenclong, yakni berwujud kental dan bening serta hanya sebesar biji pare (padi). Pada suatu saat, pada suatu titik, mulai mengeras dan membesar. Tempat suatu titik awal yang mengeras itu dinamakan Sasaka Domas atau disebut pula Sasaka Pusaka Buana. Tempat itu sekarang terletak di wilayah Baduy dan dianggap sebagai pancer bumi, artinya sebagai pusat atau inti jagat ....”

Sasaka Domas selain dianggap sebagai pusat bumi atau inti jagat juga dianggap sebagai tempat diturunkannya cikal bakal orang Baduy dan manusia penghuni bumi lainnya. Ada dua versi yang mengisahkan asal mula manusia di bumi ini. Versi pertama menyebutkan:
“Bertempat di Sasaka Domas itu, Yang Maha Kuasa yang disebut Nu Kawasan atau disebut juga dengan Batara Tunggal menciptakan tujuh keturunannya. Ketujuh keturuan tersebut masing-masing Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Opat (merah), Batara Lima (Putri Galuh), Batara Genep, dan Batara Tujuh. Batara Cikal sama dengan Nabi Adam yang menurunkan orang-orang Baduy; Batara Tujuh sama dengan Nabi Muhammad yang menurunkan orang-orang di luar Baduy, yang disebut dengan orang islam, yakni semua golongan manusia yang beragam Islam, Kristen, dan sebagainya mereka semua masih saudara orang Baduy, kecuali orang berkulit putih (bule). Orang berkulit putih itu dilarang masuk ke Baduy, terutama tangtu”.

Sementara itu, versi kedua diungkapkan oleh Danassasmita dan Djatisunda (1986), serta Garna (1993) bahwa Batara Tunggal atau Nu Ngersakeun menciptakan tujuh batara, masing-masing Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Yang Niskala, dan Batara Mahadewa. Salah satu batara itu menurunkan orang-orang Baduy. Namun dalam versi ini terdapat perbedaan. Danasasmita dan Djatisunda (1986:25) mengungkapkan bahwa yang menurunkan leluhur Baduy adalah Batara Cikal, disebut daleum, masing-masing Sanghiyang Daleum Janggala, Sanghiyang Daleum Patanjala (leluhur Cikeusik), Sanghiyang Daleum Lakoni (Leluhur Cikartawana), dan Sanghiyang Daleum Putih Sidah Hurip (tokoh wanita; leluhur Cibeo). Versi dari Garna (1993a:140) mengatakan Batara Cikal tidak mempunyai keturunan. Leluhur orang Baduy justru berasal dari Batara Patanjala yang menurunkan tujuh daleum, masing-masing Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Daleum Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh dan Batara Bungsu. Daleum Janggala yang tertua dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusikk; Daleum Lagondi menurunkan kerabat kampung, Cikartawana dan Daluem Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung tangtu Cibeo. Yang lainnya masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya. Lima batara lainnya (Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Yang Niskala, dan Batara Mahadewa) menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy, disebut salawe nagara.
Dari uraian di atas, secara umum terlihat bahwa para batara dalam pantheon Baduy merupakan para dewa Hindu. Hal ini jelas diketahui dari penggunaan istilah “batara” dan nama-nama batara, seperti Batara Tunggal, Wisawara (mungkin sama dengan Iswara atau Syiwa), Wisnu, Brahma, dan Mahadewa (nama lain untuk Syiwa). Agaknya hanya nama Cikal yang mengandung unsur “asli” Baduy. Sementara nama Niskala dan Patanjala walaupun mengandung unsur Hindu, tetapi sering dijumpai dalam tokoh-tokoh Sunda dan bukan termasuk dalam pantheon Hindu.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986) tokoh Patanjala dalam mitologi Sunda Kuno dianggap sebagai “Wisnu Sunda”, sedangkan dalam mitologi Hindu ia seorang resi murid Syiwa yang berjumlah lima orang. Dalam sejarah Jawa Barat (abad ke-13) ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan Patanjala, yaitu pendiri Kerajaan Galuh, bernama Wretikandayun, dan Darmasiksa. Tokoh Patanjala dalam kepercayaan Sunda Kuno pun sangat kuat dan bahkan menggeser kedudukan Brahma, Syiwa, dan Wisnu, terutama pada masyarakat peladang. Hal ini disebabkan kata “patanjala” dapat berarti ‘air hujan’ (pata=jatuh, jala=air) yang sangat dibutuhkan dalam pertanian. Dalam cerita yang tergolong sakral, yaitu lakon Lutung Kasarung versi Baduy, tokoh Guruminda disebut dengan Guru Minda Patanjala. Isi lakon ini berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Penulis menduga bahwa pengangkatan dan penggunaan nama Patanjala dalam patheon Baduy karena besarnya pengaruh dan perannya dalam sistem pertanian (ladang) yang merupakan fokus utama kehidupan orang Baduy.
Pengangkatan dan penggunaan nama-nama Hindu dalam pantheon Baduy, penulis kira sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Seperti diketahui dalam sejarah nusantara pada umumnya dan Jawa Barat khususnya, termasuk daerah yang sejak awal didatangi dan dipengaruhi oleh unsur Hindu, mulai dari Tarumanagara (abad ke 4-5 M) hingga Pajajaran (abad ke-15-16). Rentang waktu yang sangat lama tersebut (kira-kira 1.000 tahun) memungkinkan unsur-unsur Hinduisme berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan. Pusat-pusat pemujaan asli seperti kompleks megalitik “ditundukkan” dan dihindukan dengan bukti prasasti. Pusat-pusat pemujaan tersebut misalnya kompleks Megalitik Ciamis dengan prasasti Kawalinya, kompleks megalitik Ciampera (Bogor) dengan prasasti Ciareunteum, Kebon Kopi dan Muara Cianteunya. Namun hal seperti itu rupanya tidak terjadi di wilayah Baduy dan sekitarnya yang juga memiliki kompleks megalitik, seperti Arca Domas, Kosala, Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar, dan Lebak Sibedug. Agaknya unsur-unsur Hindu yang masuk dapat disaring, diseleksi, dan disesuaikan dengan inti kepercayaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, faktor lokasi yang terpencil dan medan yang sulit juga mendukung sulitnya atau kurangnya unsur-unsur asing yang masuk.
Ketinggian derajat unsur-unsur asli setempat ditunjukkan, misalnya, dengan meletakkan Batara Cikal di atas batara lain yang mengandung unsur Hindu. Cikal dalam bahasa setempat dapat berarti sulung dan dipandang sebagai leluhur orang Baduy. Hal lain yang menunjukkan sangat sedikitnya rembesan pengaruh Hindu ke dalam masyarakat Baduy adalah pada konsep pemimpin tertinggi dalam masyarakat. Di dalam hindu berlaku konsep dewa raja, yakni raja sebagai pemimpin tertinggi dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia sehingga rakyat harus berbakti, tunduk, dan mengabdi padanya. Sebaliknya bagi orang Baduy, pemimpin tertinggi disebut puun, tidak dianggap sebagai penjelmaan dewa walaupun Kewenangannya mirip dengan seorang raja. Menurut orang Baduy, ketinggian derajat seseorang lebih banyak ditentukan teguhnya menjalankan pikukuh.
Ketika pengaruh agama Islam masuk sejak abad ke-16 M yang berpusat di Banten, orang Baduy pun merasakan rembesannya. Oleh karenanya, dalam sebuah versi, pantheon-nya memasukkan unsur-unsur Islam, seperti Batara Cikal (tertua disamakan dengan Nabi Adam sebagai penurun orang Baduy dan Batara Tujuh (termuda) disamakan dengan Nabi Muhammad sebagai penurun orang di luar Baduy.
Masuknya unsur-unsur Islam juga didapati dari tradisi lisan lain seperti pernyataan berikut.
“Dahulu umat Nabi Adam (Baduy) melakukan puasa selama sebulan, dan umat Nabi Muhammad (luar Baduy) selama tiga bulan. Tetapi suatu ketika Nabi Muhammad minta tukaran waktu puasa dengan kakaknya (Nabi Adam), karena umat Nabi Adam lebih kuat dan lebih tabah. Nabi Adam mengikuti permintaan tersebut. Maka mulai saat itu, umat Nabi Muhammad hanya berpuasa selama sebulan (bulan Ramadhan), dan umat Nabi Adam berpuasa selama tiga bulan (bulan Kawula)”.
Menurut penulis, pernyataan tersebut merupakan upaya menjaga eksistensi dan sekaligus sebagai suatu adaptasi sistem kepercayaan mereka terhadap lingkungan sosial budaya saat itu, di samping juga bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak lebih jelek atau lebih rendah dari yang lain.
Sebagai pusat dunia dan cikal bakal manusia, mereka bertugas ngabaratapakeun nusa telupuluhtelu, bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara ‘mempertapakan pulau yang berjumlah tiga puluh tiga, sungai enam puluh lima, pusat dari dua puluh lima negara’. Dalam arti yang sempit, tugas orang Baduy adalah mempertapakan “negara Baduy” yang memiliki cukup banyak kampung (yang dirumuskan sebagai 33 kampung); banyak sekali mengalir sungai-sungai atau anak sungai (yang dirumuskan sebagai 65 aliran sungai); dan sebagai pusat negara-negara di dunia ini. Dalam arti luas tugas orang Baduy bukan hanya mempertapakan “negara Baduy” tetapi juga seluruh dunia, sebab menurut orang Baduy, kesejahteraan seluruh dunia tergantung pada pusatnya (Baduy). Bila Baduy sebagai pusat dunia terjaga baik dan sejahtera, maka baik dan sejahtera pulalah seluruh dunia. Demikian pula sebaliknya, bila Baduy rusak dan kacau, maka dunia pun akan rusak dan kacau.
Ada suatu hal yang pantasi digarisbawahi dari pandangan orang Baduy di atas, yakni masalah konservasi. Pandangan “mempertapakan” Baduy menyebabkan tindakan konservasi sangat menonjol daripada usaha-usaha eksploitasi lingkungan. Melalui aturan-aturan adat yang ketat, pengelolaan, dan pengubahan lahan dilakukan seminimal mungkin dan seperlunya saja. Hal ini misalnya terlihat sebagai berikut:

Berburu
Kegiatan ngalanjak ‘berburu’ hanya mempergunakan jaring dan dilaksanakan pada bulan Kawalu, dipimpin oleh puun kecuali puun Cikertawana). Hewan yang boleh dilanjak terbatas tiga jenis, yakni peucang (kancil), buut (tupai), dan mencek (menjangan). Hewan yang salah tangkap harus dilepas kembali ke dalam hutan.

Menangkap Ikan
Seperti halnya berburu, kegiatan munday ‘menangkap ikan’ hanya boleh menggunakan jaring atau jala dan dilaksanakan pada bulan Kawalu dipimpin oleh puun (kecuali puun Cikertawana). Jenis ikan yang boleh dijaring atau dijala terbatas hanya empat jenis, yaitu ikan soro, kancra, parang, dan hurang ‘udang’. Kalau ikan jenis lain tertangkap harus dilepas kembali.

Berladang
Kegiatan ngahuma ‘berladang’ hanya boleh dilakukan pada hutan sekunder (reuma), sesuai dengan waktunya, luas lahan secukupnya tergantung kemampuan, tidak boleh membolak-balik tanah dengan menggunakan cangkul, dan dilarang menggunakan pupuk kimia/pabrik.

Melindungi Hutan
Hutan primer/tua (leuweung kolot) yang berada di hutan lindung dan di puncak-puncak bukit, serta hutan kampung (leuweung lembur) yang berada di sekitar pemukiman, dilarang untuk dirusak, diambil kayunya secara berlebih-lebihan, dan dibuka untuk ladang.

Melindungi Sungai
Agar air sungai tidak tercemar orang dilarang mandi dengan menggunakan sabun, sampo dan pasta gigi.

Sehubungan dengan pandangan orang dan sikap orang Baduy mempertapakan pusat dunia (inti jagat) dan tempat asal manusia, wilayah Baduy dianggap sebagai “tanah suci”. Sebagai tanah suci, wilayah Baduy tidak boleh diinjak oleh sembarang orang dan sembarang waktu; bahkan orang Baduy sendiri pun hanya boleh tetap tinggal di sana selama mereka tidak bernoda karena melanggar adat. Bentuk kehidupan demikian oleh Danasasmita dan Djatisunda (1986) disebut tapa di mandala, yang bagi orang Baduy bukan berarti bersemadi atau bertirakat, melainkan bekerja, khususnya berladang menanam padi. Dengan berladang, hidup akan berkecukupan dan tidak merepotkan orang lain. Mereka harus hidup apa adanya dan tidak boleh kaya sebab kekayaan materi dianggap merupakan ancaman ketenteraman kehidupan sebuah mandala (tempat suci). Sebagai petapa, orang Baduy haruslah berbuat baik dan patuh pada pikukuh yang antara lain mengajarkan:

gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
mipit kudu amit
ngala kudu menta
ngeduk cikur kudu mihatur
nyongkel jahe kudu micarek
ngagedag kudu bewara
nyaur kudu diukur
nyabda kudu diunggang
ulah ngomong sageto-geto
ulah lemek sadaek-daek
ulah maling papanjingan
ulah jinah papacangan
kudu ngadek sacekna
nilas saplasna

‘gunung tidak boleh digempur
lembah tidak boleh dirusak
larangan tidak boleh dilanggar
pantangan tidak boleh diubah
panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung
yang lain harus dipandang lain
yang dilarang haruslah dilarang
yang benar haruslah dibenarkan
memetik harus minta izin
mengambil harus meminta
menggali kencur harus izin yang punya
mencungkil jahe harus beri tahu pemiliknya
mengguncang pohon harus beri tahu dulu
bertutur haruslah diukur
berkata haruslah dipertimbangkan
jangan berkata sembarangan
jangan berkata semaunya
jangan mencuri walaupun kekurangan
jangan berjinah dan berpacaran
harus menetak setepatnya
menebas setebasnya’


Mandala atau tempat suci untuk kegiatan keagamaan dalam tradisi Sunda kuno sering juga disebut dengan kabuyutan. Dari prasastri Kabantenan dan naskah-naskah Sunda juno diketahui bahwa pada masa pengaruh kebudayaan Hindu, di Jawa Barat terdapat dua jenis kabuyutan, yaitu lemah Dewasasana (untuk pemujaan dewa) dan Lemah Parahiyangan atau Kabuyutan Jatisunda (untuk pemujaan cara Sunda). Kabuyutan Jatisunda yang masih dapat dijumpai sekarang ini adalah Kabuyutan Baduy. Hal ini didasarkan selain cara hidup agama orang Baduy, yakni Sunda Wiwitan (wiwitan= asal, pokok, asli, jati), sehingga Sunda Wiwitan sama dengan Sunda Asli sama dengan Jatisunda (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:3-4).

Related Posts

0 comments »

Leave your response!

Be nice, Keep it clean, Stay on topic, No spam. Thanks.

Previous Page Arrow Left Arrow next page arrow right arrow Back to home home icon button