Semiotika sebagai Ilmu

05 July 2008 Leave a Comment

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).


Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya.
Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59).

Menurut Piere, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda aru dapat berfungsi bila diinterpretarikan dalam benak penerima tana melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Aritnya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.

Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan, simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.

Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118:119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.

Bagi barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka setiap pesan DKV merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual (non verbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna dekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).

Mengingat DKV mempunyai tanda terbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk bahwa teks DKV dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk mendukung pera kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap DKV layak diterapkan.

Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Roland Brahes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud (signal) serta berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa maksud (sympton) karya desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal dan ber-symptom, dan dalam memaknai makna karya DKV harus mengamati ikon, indeks, simbol dan kode yang menurut Barthes adalah cara mengangkat kembali fragment-framgment kutipan (Zoest, 1993:39-42).
Sebab esensi membongkar makna karya DKV dapat dilihat dari adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.

Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44)

Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teorinya Pierce (Noth, 1995:45), maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang mirip dengan obyek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hanadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dari api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda misalnya seperti orang Eskimo, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

Kode
Kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Sedangkan kode dalam terminologi sosiologuistik, ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang dijadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jacobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, 1992:92).
Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahasanya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip darama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.

Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeunetik, kode semantik, kode simbolik, kode barasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:
Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimana tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain.
Kode semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminim, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Kode narasi atau proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasio.
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.

Makna (Denotatif dan Konotatif)
Kita semua sering kali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang duduk di sebuah kursi dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang tidur atau dalam kondisi lelah. Seseorang tertawa dengan kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia menertawai kita atau mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.

Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley (1997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri, kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.

Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan, kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkam giri, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol.

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.
Spradley (1997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Misalnya ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.

Spradley (1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya gambar wajah orang tersenyum dapat diartikan sebagai suatu keramahan dan kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami.

Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, ideologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut.

Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep atau makna), product as signifier (produk sebagai penanda bentuk), product as generator, and product as currency (Wiliamson, 1984:24-38).

Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mensyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktek sosial. Ia menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.
Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function, dengan mengikuti model semiotik penanda atau fungsi (Piliang, 1998:298). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungna antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi.

Sedangkan pascastrukturalis menurut Piliang, mengacu ada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekontruksi dari Jacques Deeida. Julia Kristeva misalnya, ia tergabung dalam Tel Quel Perancis menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagi teks atau karya masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang-menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya.

Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertekstualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang pasca sejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sanagt kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekedar lelucon (parodi), pengelabuan identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch.

Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang seniman; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam posmodernisme, tidak bermakna tunggal, akan tetapi adalah aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka macam tulisan, tak satu pun di ataranya yang orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284).

Ciri-ciri parcastrukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hierarki makna. Pada oposisi biner, hierarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam penandaan.
Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotik penanda dan makna ironis (Piliang, 1998:298).

Terkait dengan itu, maka pembahasan karya desain komunikasi visual dengan kajian semiotik komunikasi visual dalam tulisan iniakan menggunakan teorinya Pierce untuk melihat tanda iklan (ikon, indeks, simbol) teorinya Barthes untuk melihat kode (kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, kode kebudayaan), teorinya Saussure untuk melihat makna konotatif dan makna denotatif. Kemudian Willimson dengan teori semiotika iklan terkait dengan peminjaman tanda dan kode sosial juga dimanfaatkan untuk memahami karya desain komunikasi visual yang menjadi objek tulisan ini. Di samping tentunya semiotika strukturalis dan semiotika pascastrukturalis. Hal ini menjadi penting karena untuk kasus tertentu, semiotika strukturalis tidak bisa menganalisis teks karya desain komunikasi visual, ketika karya desain komunikasi visual tersebut keluar dari kode yang berlaku. Dengan demikian, semiotika strukturalis yang stabil tidak bisa menjelaskan teks yang bersifat labil, untuk itu diperlukan pasca strukturalis.


Desain Iklan

Desain iklan dipelajari dalam konteks desain, bukan komunikasi marketing dan penciptaan merek atau aktivitas branding. Desain iklan atau populer dengan sebutan adverstising, ranah kreatifnya meliputi: kampanye iklan komersial dan perancangan iklan layanan masyarakat. Aplikasi perancangan dan perencanaan desain iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat (non-komersial) senantiasa melibatkan seluruh media periklanan yang meliputi: pertama, media iklan lini atas (above the line advertising), yakni: jenis-jenis iklan yang disosialisasikan menggunakan sarana media massa komunikasi audio visual. Misalnya surat kabar, majalah, tabloid, iklan radio, televisi, bioskop, internet, telepon seluler. Pada umumnya, biro iklan yang bersangkutan mendapat komisi karena pemasangan iklan tersebut. Kedua, media iklan lini bawah (below the line advertising), yaitu kegiatan periklanan yang disosialisasikan tidak menggunakan mejdia massa cetak dan elektronik. Media yang digunakan berkisar pada printed ad: poster, brosur, leaflet, folder, flyer, katalog, dan merchandising: payung, mug, kaos, topi, dompet, pin, tas, kalender, buku agenda, balpoint, gantungan kunci. Ketiga, new media: ambient media, guerillas edvertising, theatrical advertising, adman.

Related Posts

0 comments »

Leave your response!

Be nice, Keep it clean, Stay on topic, No spam. Thanks.

Previous Page Arrow Left Arrow next page arrow right arrow Back to home home icon button